MAKALAH “TAUHID ASMA’ WA SIFAT BAGI ALLAH SWT”


MAKALAH
“TAUHID ASMA’ WA SIFAT BAGI ALLAH SWT”
Diajukan sebagai salah satu syarat mengikuti perkuliahan
Masailul Fiqh
      


Disusun oleh:

Nama                                       : NiM
Agus Julianto                          : 16008


Dosen Pembimbing:
Qonidin,M.Pd



PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
 SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH(STIT) AL-AZHAR DINIYYAH JAMBI
TAHUN AKADEMIK 2018-2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas mengenai Masailul Fiqh.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Tak ada Gading yang Tak Retak untuk itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Demikian kata pengantar ini penulis buat, semoga bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya.



Bayung Lencir     Oktober 2018
Penulis




…………………………………










DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A.    Latar Belakang................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C.     Tujuan ................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 3
A.    Tauhid Asma’ wa Sifat...................................................................... 3
BAB III PENUTUP....................................................................................... 10
A.    Kesimpulan......................................................................................... 10
B.     Kritik dan Saran................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 11

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Pembahasan mengenai Tauhid merupakan hal yang paling urgen dalam Agama Islam, dimana Tauhid mengambil peranan penting dalam membentuk pribadi-pribadi yang tangguh, selain juga sebagai inti atau akar daripada ‘Aqidah Islamiyah. Tauhid Asma’ Wa Sifat merupakan salahsatu macam-macam tauhid yang artinya mengesakan Allah dalam apa yang Allah miliki dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
       Namun rupanya saat ini pembahasan masalah tauhid khususnya  Tauhid Asma’ wa Sifat    menjadi sesuatu yang yang terpecah ke dalam berbagai golongan, sehingga melahirkan berbagai macam pendapat yang berbeda-beda,Dalam agama islam, Asmaa’ul husna adalah nama-nama Allah ta’ala yang indah dan baik. Asma berarti nama dan husna berarti yang baik atau yang indah jadi asma’ul husna adalah nama-nama milik Allah ta’ala yang baik lagi indah.
            Asma’ul husna secara harfiah ialah nama-nama,sebutan,gelar Allah yang baik dan       agung sesuai dengan sifat-sifat_NYA. Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu merupakan suatu kesatuan yang menyatu dalam kebesaran dan kehebatan milik Allah.
            Diharapkan dari penulisan makalah ini, kita mendapatkan apengetahuan yang lebih luas tentang tauhid khususnya Tauhid asma’ wa Sifat sebagai salah satu  dari sekian banyak macaam ilmu tauhid.

B.     Rumusan Masalah
            Dalam makalah ini rumusan makalah yang dapat kami paparkan adalah sbb:
1.Apa itu tauhid Asma’ wa Sifat?


C.    Tujuan
            Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas maka tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
1.Memahami dan mempelajari tauhid asma’ Wa Sifat.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tauhid Asma’ Wa Sifat
            Tauhid Asma’ Wa Sifat Yaitu menyendirikan atau mengesakan Allah dalam apa yang Allah miliki dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
       Dan dalam hal ini terkandung dua perkara, yaitu
       Pertama:  Al-Itsbat (penetapan)
             Yakni kita menetapkan semua nama dan sifat bagi Allah, dari apa yang telah Allah tetapkan sendiri dalam kitab-Nya atau apa yang ditetapkan Rasul-Nya dalam sunnahnya.
       Kedua: Nafyul Mumatsalah (meniadakan penyerupaan/penyamaan)
            Yakni bahwa kita tidak menyamakan/menyerupakan Allah dengan selain-Nya dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang Allah firmankan: [QS. Asy-Syuura: 11].
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

            Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
            Maka ayat tersebut menunjukkan bahwa semua sifat-sifat-Nya tidak ada satupun dari para makhluk-Nya yang menyerupainya/menyamainya. Dan tauhid asma’ wa sifat inilah umat Islam tercerai berai menjadi banyak golongan.
            Maka diantara mereka ada yang mengikuti jalur tahrif (menyimpangkan/mengalihkan),  ta’thil (menolak/meniadakan),Takyif ( bertanya dengan kaifa/ bagaimana),tamtsil (menyamakan/menyerupakan), dan ada pula yang mengikuti Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Secara Ijmal Mengenai Sifat-Sifat Allåh
1.      Tahrif

Tahrif secara bahasa berarti merubah dan mengganti. Menurut pengertian syar’i berarti: mengubah lafazh Al Asma’ul Husna dan Sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi atau makna-maknanya.
       Tahrif ini dibagi menjadi dua:
a.      Tahrif dengan cara menambah, mengurangi, atau merubah bentuk lafazh.
            Hal ini dilakukan oleh yahudi, sebagaimana Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Diperintahkan kepada Bani Israil: ‘masukilah pintu gerbang dengan bersujud dan katakanlah ‘hith-thah’ [bebaskan kami dari dosa], lalu mereka menggantinya (dengan hinthah [gandum]), maka mereka memasuki (pintu gerbang kota tersebut) dengan merangkak diatas ‘bokong’ mereka sembari berkata: ‘habbah fi sya’rah’ (sebiji dari gandum)”(HR. Bukhåry dan Muslim)
            Hal yang sama pun dilakukan kaum sesat jahmiyyah, yang menta’wilkan ‘istawa’ (bersemayam) dengan istaula (menguasai) dalam firman Allåh :
            yang artinya“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.
(Taa-Haa: 5) dan ayat-ayat semisalnya, yang terdapat dalam (Al-Furqaan: 59), (As-Sajda: 4), (Al-Hadid: 4), (Ar-Ra’d: 2), (Yunus: 3), dan (Al-A’raaf: 54).
b.      Tahrif dengan cara merubah makna
            Artinya, tetap membiarkan lafazh sebagaimana aslinya, tetapi melakukan perubahan terhadap maknanya.
            Contohnya adalah perkataan ahli bid’ah yang menafsirkan Rahmah (kasih sayang),
2.       Ta’thil
            Ta’thil secara bahasa berarti meniadakan. Adapun menurut pengertian syar’i adalah : Meniadakan sifat-sifat Ilahiyah dari Allah Ta’ala, mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut pada Dzat-Nya, atau mengingkari sebagian darinya. Jadi, perbedaan antara tahrif dan ta’thil yaitu : ta’thil adalah penafian suatu makna yang benar, yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan tahrif adalah penafsiran nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan interpretasi yang bathil.
       Ta’thil ada bermacam-macam:
a.       Penolakan terhadap Allah atas kesempurnaan sifat-Nya yang suci, dengan cara meniadakan Asma’ dan Sifat-sifat-Nya, atau sebagian dari-nya, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut paham Jahmiyah dan Mu’tazilah.
b.      Meninggalkan muamalah dengan-Nya, yaitu dengan cara meninggalkan ibadah kepada-Nya, baik secara total maupun sebagian, atau dengan cara beribadah kepada selain-Nya di samping beribadah kepada-Nya.
c.       Meniadakan pencipta bagi makhluk. Contohnya adalah pendapat orang-orang yang mengata-kan: Sesungguhnya, alamlah yang menciptakan segala sesuatu dan yang mengatur dengan sendirinya.
            Jadi, setiap orang yang melakukan tahrif pasti juga melakukan ta’thil, akan tetapi tidak semua orang yang melakukan ta’thil melakukan tahrif. Barangsiapa yang menetapkan suatu makna yang batil dan menafikan suatu makna yang benar, maka ia seorang pelaku tahrif sekaligus pelaku ta’thil. Adapun orang yang menafikan sifat, maka ia seorang mu’athil, (pelaku ta’thil), tetapi bukan muharif, (pelaku tahrif).   
3.      Takyif
            Takyif artinya bertanya dengan kaifa, (bagaimana).Adapun yang dimaksud takyif di sini adalah menentukan dan memastikan hakekat suatu sifat, dengan menetapkan bentuk/keadaan tertentu untuknya.Meniadakan bentuk/keadaan bukanlah berarti masa bodoh terhadap makna yang dikandung dalam sifat-sifat tersebut, sebab makna tersebut diketahui dari bahasa Arab.
            Inilah paham yang dianut oleh kaum salaf, sebagaimana dituturkan oleh Imam Malik Rahimahullah Ta’ala ketika ditanya tentang bentuk/keadaan istiwa’, -bersemayam-. Beliau Rahimahullah menjawab :
“Istiwa’ itu telah diketahui (maknanya), bentuk/ keadaannya tidak diketahui, mengimaninya wajib, sedangkan menanyakan (bagaimana)nya (adalah) bid’ah.” [Fatawa Ibnu Taimiyyah, V/144]
            Semua sifat Allah menunjukkan makna yang hakiki dan pasti. Kita mengimani dan menetapkan sifat tersebut untuk Allah, akan tetapi kita tidak mengetahui bentuk, keadaan, dan bentuk dari sifat tersebut. Yang wajib adalah meyakini dan menetapkan sifat-sifat tersebut maupun maknanya, secara hakiki, dengan memasrahkan bentuk/keadaannya.Tidak sebagaimana orang-orang yang tidak mau tahu terhadap makna-maknanya.

4.      Tamtsil
            Tamtsil artinya tasybih, menyerupakan, yaitu menjadikan sesuatu yang menyerupai Allah Ta’ala dalam sifat-sifat Dzatiyah maupun Fi’liyah-Nya.
            Tamtsil ini dibagi menjadi dua, yaitu :
            Pertama
            Menyerupakan makhluk dengan Pencipta.Misalnya orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih putera Maryam dengan Allah Ta’ala dan orang-orang Yahudi yang menyerupakan ‘Uzair dengan Allah pula.Maha Suci Allah dari itu semua.

Kedua
            Menyerupakan Pencipta dengan makhluk.Contohnya adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai wajah seperti wajah yang dimiliki oleh makhluk, memiliki pendengaran sebagaimana pendengaran yang dimiliki oleh makhluk, dan memiliki tangan sebagaimana tangan yang dimiliki oleh makhluk, serta penyerupaan-penyerupaan lain yang bathil. Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan. [Al-Kawasyif Al-jaliyah an Ma'ani Al-Wasithiyah, hal.86]
            Syaikh Abdul Aziz bin Baz hafizhahullah berkata : Ada tasybih jenis ketiga, yaitu menyerupakan Sang Pencipta dengan ma’dumat, (sesuatu yang tidak ada), tidak sempurna dan benda-benda mati. Inilah tasybih yang dilakukan oleh orang-orang yang menganut paham Jahmiyah dan Mu’tazilah.
            Ilhad terhadap asma’ dan sifat-sifat Allåh
Pengertian ilhad terhadap Asma’ dan Sifat-sifat Allah adalah menyimpangkan nama-nama dan sifat-sifat Allah, hakekat-hakekatnya, atau makna-maknanya, dari kebenarannya yang pasti. Penyimpangan ini bisa berupa penolakan terhadapnya secara total atau pengingkaran terhadap makna-maknanya, atau pembelokannya dari kebenaran dengan menggunakan interpretasi yang tidak benar, atau penggunaan nama-nama tersebut untuk menyebut hal-hal yang bid’ah, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut paham “Ittihad”. Jadi, yang termasuk dalam kategori ilhad adalah tahrif, ta’thil, takyif, tamtsil dan tasbih. [Lihat Al-Ajwibah Al-Ushuliyah, hal. 32 dan Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah, Al-Haras, hal. 24]

5.      Ahlus-sunnah wal jama’ah
            Adapun ahlus sunnah wal jama’ah, maka mereka mengimani dan menetapkan semua apa yang telah Allah tetapkan sendiri di dalam kitab-Nya daripada nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya dalam sunnahnya, dengan tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil 
            Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya secara tafshil, dengan landasan firman Allah,
وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
            yang artinya:“Dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.” [Asy-Syura : 11]     
            Karena itu, semua nama dan sifat yang telah ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya atau oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam, mereka tetapkan untuk Allah, sesuai dengan keagungan sifat-Nya. Sebaliknya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah menafikan apa yang telah dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, atau oleh rasul-Nya, dengan penafian secara ijmal, berdasarkan kepada firman Allah, لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ yang artinya :“Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya…” [Asy-Syura : 11]
            Penafian sesuatu menuntut penetapan terhadap kebalikannya, yaitu kesempurnaan.Semua yang dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, berupa kekurangan atau persekutuan makhluk dalam hal-hal yang merupakan kekhususan-Nya, menunjuk-kan ditetapkannya kesempurnaan-kesempurnaan yang merupakan kebalikannya.Allah telah memadukan penafian dan penetapan dalam satu ayat. Maksud saya penafian secara ijmal dan penetapan secara tafshil yaitu dalam firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
            yang artinya:“Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya dan Din Maha Mendengar lagi Melihat.” [Asy-Syura: 11]
            Ayat ini mengandung tanzih, -penyucian- Allah dari penyerupaan dengan makhluk-Nya, baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatanNya. Bagian awal ayat di atas merupakan bantahan bagi kaum Musyabbihah (yang menyerupakan Allah), yaitu firman Allah Ta’ala, لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
             yang artinya:“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya …”
Adapun bagian akhir dari firman Allah tersebut merupakan bantahan bagi kaum Mu’athilah -yang melakukan ta’thil-, yaitu firman Allah, yang artinya:“Dan Dia Maha Mendengar lagi Melihat.”
            Pada bagian pertama terkandung penafian secara ijmal sedangkan pada bagian terakhir terkandung penetapan secara tafshil.Ayat di atas juga mengandung bantahan bagi kaum Asy’ariyah yang mengatakan bahwa Allah mendengar tanpa pendengaran dan melihat tanpa penglihatan. [Al-Ajwibah Al-Ushuliyah 'ala Al-Aqidah Al-Wasithiyah, hal.26]
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Ta’ala mencantumkan ayat diatas, berikut surah Al-Ikhlas dan ayat Al-Kursi, karena surah Al-Ikhlas dan ayat-ayat tersebut mengandung penafian dan penetapan. [Ar-Raudah An-Nadiyah, hal. 120 dan Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Al-haras, hal.31]
            Surah Al-Ikhlas memiliki bobot yang sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an, sebagai-mana dinyatakan oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam [HR. Al-Bukhari, lihat Fathul Bari XIII / 347 dan Muslim I/556 no.811] Para ulama menyebutkan penafsiran sabda beliau itu, bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan tiga macam kandungan, yaitu : Tauhid, kisah-kisah, dan hukum-hukum, sedangkan surah Al-Ikhlas ini mengandung tauhid dengan ketiga macamnya, yaitu: Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah, dan Tauhid Asma’ wa Shifat. Karena itulah ia dikatakan sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an. [Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah, Al-Haras, hal.21]
            Ayat Al-Kursi adalah ayat yang agung, bahkan merupakan ayat yang paling agung di dalam Al-Qur’an [Muslim I/556 no.810, Ahmad V/142, dan lain-lain.] Itu disebabkan, ia mengandung nama-nama Allah Yang Maha Indah dan sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi. Nama-nama dan sifat-sifat tersebut terkumpul di dalamnya, yang tidak terkumpul seperti itu dalam ayat lainnya.Karena itu, ayat yang mengandung makna-makna agung ini layak untuk menjadi ayat yang paling agung dalam Kitabullah. [Al-Ajwibah Al-Ushuliyah ala Al-Aqidah Al-Wasithiyah, hal.40]
            Oleh: Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qathan.

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
            Dari yang telah teruraikan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa
Semua sifat Allah menunjukkan makna yang hakiki dan pasti. Kita mengimani dan menetapkan sifat tersebut untuk Allah, akan tetapi kita tidak mengetahui bentuk, keadaan, dan bentuk dari sifat tersebut. Yang wajib adalah meyakini dan menetapkan sifat-sifat tersebut maupun maknanya, secara hakiki, dengan memasrahkan bentuk/keadaannya.
            Setiap nama Allah Ta’ala memiliki makna (yang bisa dipahami). Sesungguhnya nama-nama Allah Ta’ala tidak terbatas dengan jumlah tertentu dan diantara nama Allah ada 99 nama, barangsiapa yang menghafalnya akan masuk surga. Yang dimaksud ihsha’ (menghafal) disni adalah mengenal nama-nama Allah secara lafadz, makna dan beribadah kepada Allah dengan nama-nama tersebut.
“Dan hanya milik Allah nama-nama yang terbaik (asmaul husna) maka berdoalah dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-namaNya.Mereka kelak akan mendapatkan balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180)

B.     Kritik dan Saran
            Semoga setelah mempelajari dan memahami pembahasan ini kita dapat mengambil hikmah dari ajaran tauhid asma’ Wa Sifat  tentang berbagai macam golongan-golongan dalam memhami tauhid asma’ wa sifat dan memahami pembagian-pembagian nama-nama dan sifat allah.

DAFTAR PUSTAKA





Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH PENGERTIAN DAN SYARAT PROFESI KEGURUAN

MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM